Balada UN
Beberapa hari terakhir ini, kita kembali diramaikan oleh berita mengenai kacau balau-nya pelaksanaan Ujian Nasional (UN) tingkat SMU, seakan belum cukup menimbulkan kehebohan dan kontroversi yang sudah ada sejak dari awal diluncurkannya. Saya jadi teringat pengalaman saya tahun lalu yang sangat berkesan.

Setahun yang lalu, saya diminta memberikan sesi terapi massal kepada sekitar 200 siswa-siswi kelas XII di sebuah SMU negeri unggulan di Jakarta Utara yang akan segera menghadapi UN. Acara tersebut diadakan oleh sebuah perusahaan operator telekomunikasi seluler besar di Indonesia, sebagai bagian dari program sekolah binaan yang menjadi program Corporate Social Responsibility mereka. Saya pribadi sangat terkesan dengan pengalaman ini karena merupakan kali pertama saya melakukan sesi seperti itu, dan dilakukan di dalam sebuah bangunan tempat ibadah yang bahkan belum selesai dibangun, karena hanya tempat tersebut yang muat untuk menampung seluruh siswa tersebut. Dalam sesi tersebut, saya menjelaskan mengenai mekanisme kerja pikiran manusia dan bagaimana suatu tekanan/stress bisa sangat mempengaruhi efektifitas kerja pikiran kita. Disertai dengan beberapa peragaan stage hypnosis yang bisa membantu pemahaman mereka tersebut. Sesi terapinya sendiri saya lakukan dengan menggunakan teknik ICT (Instant Change Technique), yang ditemukan Bpk Ariesandi Setyono, CHt. (AHI), yang walaupun sebenarnya kurang didukung beberapa pihak (mungkin karena kurang “menghebohkan”), tapi menurut saya lebih sesuai dengan tujuan sesi terapi tersebut dan ‘aman’ untuk keadaan & kondisi yang ada. Bayangkan jika ada beberapa siswa yang mengalami abreaksi (ledakan emosi) dalam ruangan yang serba penuh dan sempit tersebut, dan hanya saya sendiri sebagai terapis yang harus menanganinya, kemungkinan akan ada abreaksi yang tidak tertangani dengan baik dan malah berefek negatif kepada siswa yang bersangkutan.

Dari sekian banyak kontroversi yang sudah terjadi tersebut, saya menjadi cukup heran dengan konsistensi (alias kengototan) dari pihak-pihak penyelenggaranya. Menurut saya suatu proses edukasi tidak bisa dihakimi hanya dengan sebuah ujian akhir, sama sekali tidak adil untuk menilai sebuah proses pendidikan selama bertahun-tahun tersebut dengan kemampuan menjawab sederetan soal pada sebuah event saja. Apalagi dengan gaya ujian yang ada sekarang, resep keberhasilan sebenarnya bukan terletak pada usaha belajar (dalam arti yang sebenarnya), tapi cukup dengan latihan menjawab soal sebanyak-banyaknya. Tidak diperlukan adanya pemahaman komprehensif akan suatu materi, yang penting cukup sering berlatih/drilling dengan model soal yang serupa. Tentu tetap ada sisi positif dari hal ini, antara lain adalah timbulnya peluang usaha Bimbel (Bimbingan Belajar) yang selalu laris manis dan usaha penerbitan buku-buku kumpulan soal-soal latihan UN. Anak yang mendapatkan nilai tinggi belum tentu berarti anak tersebut mempunyai kemampuan nalar dan pemahaman materi yang sempurna, tapi yang pasti siswa tersebut sudah berhasil mengerjakan latihan soal dengan porsi yang cukup banyak. Peran sekolah tidak lagi terlalu penting dalam menentukan tingkat keberhasilan UN, digantikan oleh peran Bimbel yang mampu memberikan porsi latihan yang lebih banyak lagi bagi pesertanya. Bagi saya, hal tersebut kembali menimbulkan pertanyaan besar dari tujuan pendidikan itu sendiri.
Belakangan, kesemrawutan itu semakin bertambah dengan tidak siapnya penyelenggaraan event akbar ini. Dan, jangan-jangan, lagi-lagi hanya di negara ini suatu proyek nasional yang sudah dijadwalkan begitu lama bisa begitu berantakan persiapannya. Kelihatannya para penyelenggara UN sendiri juga belum “lulus” dari ujian mereka yang sebenarnya.
Mari berharap para pemegang kebijakan pendidikan di negara ini bisa lebih terbuka dan bijaksana menghadapi masalah ini, demi kemajuan generasi kita di masa mendatang.
Oh iya, belakangan saya diberitahu bahwa hasil UN di SMU dimana saya melakukan terapi massal tadi sangat baik, dengan tingkat kelulusan 100%!